Sabtu, 21 Maret 2015

Opini Tentang "Freeport"

OPINI TENTANG FREEPORT

PT Freeport adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (salah satu produsen terbesar emas dunia. Perusahaan Amerika ini memiliki beberapa anak perusahaan termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals, dan Atlantic Copper, S.A.). Perusahaan Amerika Freeport Sulphur yang bermarkas di New Orleans adalah perusahaan asing pertama yang memperoleh ijin usaha dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967, setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh Soeharto. Keistimewaan luar biasa yang diberikan PT Freeport ini, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tekanan Amerika. Tekanan asing dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat ketika itu karena “jasa besar” yang telah membantu presiden Soeharto dalam menumpas kasus G30S/PKI. Utang budi inilah yang dijadikan “senjata” oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menekan Indonesia sehingga mau menerima permohonan kontrak kerja yang amat merugikan Indonesia.
Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika. Lahan eksplorasi yang diserahkan oleh pemerintah Indonesia ke PT Freeport mencangkup areal yang sangat luas,  tetapi kita tidak punya data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang dihasilkan dari tambang Ertsberg. Dalam kesepakatan awal PT Freeport hanya akan memproduksi tembaga dan ini adalah dasar mengapa lokasi penambangan dinamakan Tembagapura . Pada kenyataannya tambang Ertsberg tidak hanya memproduksi tembaga tetapi juga menghasilkan emas.
Emas yang awalnya dinilai sebagai by product belakangan ini malah menjadi produk utama dari PT Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak yang ditemukan didalam bahan galian. Kita tidak terlalu yakin bahwa emas yang dihasilkan adalah by product sebab saat itu tidak ada orang Indonesia baik dari Papua maupun luar wilayah Papua yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal pemurnian konsentrat ini dilakukan di luar Indonesia yaitu di negara Jepang dan Amerika. Dengan demikian, bisa saja sejak awal PT Freeport telah menghasilkan emas dan perak tetapi hal ini disembunyikan dan tidak dipublikasikan.
Sudah hampir 45 tahun aktivitas pertambangan emas di PT Freeport-Mc Moran Indonesia di tanah Papua. Namun selama itu juga kedaulatan negara kita khususnya di daerah Papua terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama di Indonesia pertama pertambangan antara pemerintah dengan PT Freeport yang dilakukan pada tahun 1967 untuk jangka waktu 30 tahun memang posisi tawar atau posisi pihak  pemerintah RI dalam Kontrak Karya masih sangat kecil, yaitu hanya sebagai pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil.
Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik Indonesia. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan Indonesia. Akan tetapi keuntungan yang sangat besar terus diraih oleh PT Freeport hingga Kontrak Karya yang pertama dapat diperpanjang menjadi Kontrak Karya kedua yang tidak di renegoisasi secara optimal sehingga Indonesia lagi-lagi tidak mendapatkan manfaat dari keuntungan besar yang PT Freeport raih padahal seharusnya Kontrak Karya kedua dapat memberikan manfaat karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg.
Selain itu , PT Freeport sering dikabarkan melakukan penganiayaan terhadap para penduduk setempat , pada tahun 2003 PT Freeport mengaku telah membayar TNI agar mampu mengusir penduduk setempat dari wilayah Papua. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005 biaya yang dikeluarkan dari tahun 1998 sampai dengan 2004 mencapai 20 juta dolar AS. Hal ini tentu membuat putra Papua merasa diasingkan dari daerahnya sendiri  dan aparat keamanan di negara Indonesia kesannya lebih mementingkan perusahaan asing tersebut.
Yang makin membuat rakyat Papua geram adalah standard yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya yang berakibat karyawan PT Freeport menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut agar gaji mereka segera dinaikan sebanyak 4 dolar AS per-jam. Tetapi sampai sekarang pengajuan kenaikan gaji tidak juga disepakati oleh pihak management Freeport , padahal mereka hanya menuntut hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Dan juga rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang besar untuk mengejar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun fasilitas yang diperlukan untuk pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.
Disisi lain , kemiskinan makin merajalela di bumi Papua khususnya di daerah Timika . Penduduk kabupaten Timika, lokasi dimana PT Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan sisanya adalah pendatang.  Kesejahteraan tidak ikut naik dengan kehadiran PT Freeport diwilayah mereka . Sebagian besar dari mereka berada dibawah garis kemiskinan dan mereka terpaksa mengais emas yang tersisa dari limbah PT Freeport. Akan tetapi pemerintah terkesan “buta” dengan kondisi yang sangat menyayat hati ini yang terjadi di Papua khususnya di daerah Timika.
Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua menempati peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi, berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
PT Freeport telah mendapatkan keuntungan yang melimpah dari sumberdaya mineral di Papua. Keuntungan tersebut telah mengubah PT Freeport dari perusahaan yang tidak dikenal menjadi perusahaan tambang raksasa di dunia dalam waktu singkat namun patut dicurigai perubahaan menjadi perusahaan besar itu diperoleh dari berbagai tindakan amoral seperti penyelewengan, manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik dan jauh dari kaidah bisnis dan pola hubungan bisnis yang sehat. Menghadapi kondisi seperti ini pemerintah seharusnya tidak hanya “diam” dan “buta” . Harus ada langkah yang konkret dari pemerintah untuk menggunakan posisi tawar yang tinggi untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal bukan hanya sebagai pemilik lahan. Pemerintah  juga harus mengambil langkah yang tegas atas tindakan PT Freeport yang melanggar Undang-undang (UU), yang di dasari oleh UU yang sudah ada seperti Undang-undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan dan Perpajakan, Undang-undang tentang Kekayaan Alam, dan Undang-undang Hak Asasi Manusia.

Daftar Pustaka :
http://www.tempo.co/read/news/2006/03/01/05574659/Aksi-Protes-di-Kantor-Freeport-Berakhir
http://chikoromanisti10.wordpress.com/2011/12/23/kasus-freeport-indonesia/http://km.itb.ac.id/site/?p=6862 
http://www.antaranews.com/berita/286476/kasus-freeport-hilangnya-nurani-pemerintah
http://dailyactivitiesnhacks.wordpress.com/2011/10/17/akar-masalah-kasus-freeport/


13. PERPAJAKAN INTERNASIONAL DAN PENETAPAN HARGA TRANSFER

13. PERPAJAKAN INTERNASIONAL DAN PENETAPAN HARGA TRANSFER A.    Keanekaragaman Sistem Pajak Nasional         Suatu perusahaan dapat m...