OPINI
TENTANG FREEPORT
PT Freeport adalah sebuah perusahaan pertambangan
yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (salah
satu produsen terbesar emas dunia. Perusahaan Amerika ini memiliki beberapa
anak perusahaan termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals, dan
Atlantic Copper, S.A.). Perusahaan Amerika Freeport Sulphur yang bermarkas di
New Orleans adalah perusahaan asing pertama yang memperoleh ijin usaha dari
pemerintah Indonesia pada tahun 1967, setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh
Soeharto. Keistimewaan luar biasa yang diberikan PT Freeport ini, tentu saja
tidak bisa dilepaskan dari tekanan Amerika. Tekanan asing dilakukan oleh pemerintah
Amerika Serikat ketika itu karena “jasa besar” yang telah membantu presiden
Soeharto dalam menumpas kasus G30S/PKI. Utang budi inilah yang dijadikan
“senjata” oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menekan Indonesia sehingga mau
menerima permohonan kontrak kerja yang amat merugikan Indonesia.
Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan
eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d.
1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten
Mimika. Lahan eksplorasi yang diserahkan oleh pemerintah Indonesia ke PT
Freeport mencangkup areal yang sangat luas,
tetapi kita tidak punya data yang akurat tentang berapa besar produk
tambang yang dihasilkan dari tambang Ertsberg. Dalam kesepakatan awal PT Freeport
hanya akan memproduksi tembaga dan ini adalah dasar mengapa lokasi penambangan
dinamakan Tembagapura . Pada kenyataannya tambang Ertsberg tidak hanya
memproduksi tembaga tetapi juga menghasilkan emas.
Emas yang awalnya dinilai sebagai by product belakangan
ini malah menjadi produk utama dari PT Freeport. Hal ini konon disebabkan
semakin tingginya konsentrat emas dan perak yang ditemukan didalam bahan
galian. Kita tidak terlalu yakin bahwa emas yang dihasilkan adalah by product
sebab saat itu tidak ada orang Indonesia baik dari Papua maupun luar wilayah
Papua yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal
pemurnian konsentrat ini dilakukan di luar Indonesia yaitu di negara Jepang dan
Amerika. Dengan demikian, bisa saja sejak awal PT Freeport telah menghasilkan
emas dan perak tetapi hal ini disembunyikan dan tidak dipublikasikan.
Sudah hampir 45 tahun aktivitas pertambangan emas di
PT Freeport-Mc Moran Indonesia di tanah Papua. Namun selama itu juga kedaulatan
negara kita khususnya di daerah Papua terus diinjak-injak oleh perusahan asing
tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama di Indonesia pertama pertambangan
antara pemerintah dengan PT Freeport yang dilakukan pada tahun 1967 untuk
jangka waktu 30 tahun memang posisi tawar atau posisi pihak pemerintah RI dalam Kontrak Karya masih
sangat kecil, yaitu hanya sebagai pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang
memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih
kecil.
Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak
hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak
kedaulatan Republik Indonesia. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto,
Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang
telah melecehkan Indonesia. Akan tetapi keuntungan yang sangat besar terus
diraih oleh PT Freeport hingga Kontrak Karya yang pertama dapat diperpanjang
menjadi Kontrak Karya kedua yang tidak di renegoisasi secara optimal sehingga
Indonesia lagi-lagi tidak mendapatkan manfaat dari keuntungan besar yang PT
Freeport raih padahal seharusnya Kontrak Karya kedua dapat memberikan manfaat
karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg.
Selain itu , PT Freeport sering dikabarkan melakukan
penganiayaan terhadap para penduduk setempat , pada tahun 2003 PT Freeport
mengaku telah membayar TNI agar mampu mengusir penduduk setempat dari wilayah
Papua. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005 biaya yang dikeluarkan
dari tahun 1998 sampai dengan 2004 mencapai 20 juta dolar AS. Hal ini tentu
membuat putra Papua merasa diasingkan dari daerahnya sendiri dan aparat keamanan di negara Indonesia
kesannya lebih mementingkan perusahaan asing tersebut.
Yang makin membuat rakyat Papua geram adalah
standard yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh
karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh
pekerja dari Indonesia hanya separuhnya yang berakibat karyawan PT Freeport
menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut agar gaji mereka segera dinaikan
sebanyak 4 dolar AS per-jam. Tetapi sampai sekarang pengajuan kenaikan gaji
tidak juga disepakati oleh pihak management Freeport , padahal mereka hanya
menuntut hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Dan
juga rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan
dana yang besar untuk mengejar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun
fasilitas yang diperlukan untuk pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.
Disisi lain , kemiskinan makin merajalela di bumi
Papua khususnya di daerah Timika . Penduduk kabupaten Timika, lokasi dimana PT
Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan sisanya adalah
pendatang. Kesejahteraan tidak ikut naik
dengan kehadiran PT Freeport diwilayah mereka . Sebagian besar dari mereka
berada dibawah garis kemiskinan dan mereka terpaksa mengais emas yang tersisa
dari limbah PT Freeport. Akan tetapi pemerintah terkesan “buta” dengan kondisi
yang sangat menyayat hati ini yang terjadi di Papua khususnya di daerah Timika.
Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) Papua menempati peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya
angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi,
berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut
berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
PT Freeport telah mendapatkan keuntungan yang
melimpah dari sumberdaya mineral di Papua. Keuntungan tersebut telah mengubah
PT Freeport dari perusahaan yang tidak dikenal menjadi perusahaan tambang
raksasa di dunia dalam waktu singkat namun patut dicurigai perubahaan menjadi
perusahaan besar itu diperoleh dari berbagai tindakan amoral seperti penyelewengan,
manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik dan jauh dari kaidah bisnis dan pola
hubungan bisnis yang sehat. Menghadapi kondisi seperti ini pemerintah
seharusnya tidak hanya “diam” dan “buta” . Harus ada langkah yang konkret dari
pemerintah untuk menggunakan posisi tawar yang tinggi untuk mendapatkan hasil
eksploitasi sumberdaya yang optimal bukan hanya sebagai pemilik lahan.
Pemerintah juga harus mengambil langkah
yang tegas atas tindakan PT Freeport yang melanggar Undang-undang (UU), yang di
dasari oleh UU yang sudah ada seperti Undang-undang tentang Lingkungan Hidup,
Undang-undang Kehutanan dan Perpajakan, Undang-undang tentang Kekayaan Alam,
dan Undang-undang Hak Asasi Manusia.
Daftar
Pustaka :
http://www.tempo.co/read/news/2006/03/01/05574659/Aksi-Protes-di-Kantor-Freeport-Berakhir
http://chikoromanisti10.wordpress.com/2011/12/23/kasus-freeport-indonesia/http://km.itb.ac.id/site/?p=6862
http://www.antaranews.com/berita/286476/kasus-freeport-hilangnya-nurani-pemerintah
http://dailyactivitiesnhacks.wordpress.com/2011/10/17/akar-masalah-kasus-freeport/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar